Senin, 06 Februari 2012

TEMU AKRAB LEKTOR-LEKTRIS GHK

Pada Sabtu (4/2) sekitar pkl. 20.00, para lektor-lektris Gereja Hati Kudus (GHK) mengadakan acara "temu akrab" di rumah Pa Bobby Worotitjan di Lingkungan St. Petrus, wilayah I, Paroki Hati Kudus Kramat. Acara ini terselenggara atas ide dan kerja keras dari ketua Lektor-lektris GHK, Sdri. Maria Sesilia Melvina. "Yah, sekadar untuk menumbuhkan keakraban di antara para anggota lektor-lektris serta mengevaluasi tugas pelayanan selama ini," demikian tuturnya.  Hanya sayangnya, jumlah anggota yang hadir dalam acara ini tidak terlalu banyak. "Kemungkinan karena ada kesibukan lain dan bisa jadi waktunya kurang tepat," tutur Melvin.

Acara ini dimulai sekitar pkl. 20.15. Acara diawali dengan doa pembukaan oleh Fr. Pephit. Fr. Felly sebagai pemandu acara mengajak para peserta yang hadir untuk memperkenalkan identitas diri, latar belakang keluarga, kesibukan sekarang ini, dan kesan-pesan terhadap tugas pelayanan sebagai lektor-lektris selama ini. "Ini semua bertujuan untuk semakin mengenal dan mempererat tali persaudaraan di antara para anggota lektor-lektris. Sehingga, kelompok lektor-lektris menjadi semakin solid dan kompak," demikian tegas Fr. Felly. Dalam suasana santai dan penuh persaudaraan, masing-masing peserta memperkenalkan diri dan membagikan pengalaman keterlibatan (suka-duka) sebagai lektor-lektris. "Pengalaman sukanya sih banyak. Cuma dukanya ketika para petugas koor ga ada. Terpaksa kitalah yang harus menyanyi dengan segala keterbatasannya," tutur Dian sambil tersenyum. Pokoknya, ada suasana keterbukaan dan saling mendengarkan satu dengan yang lain dalam sharing ini. Sesi sharing yang berakhir sekitar pkl. 21.45 ini ditutup dengan doa penutup oleh Fr. Felly.

Acara selanjutnya adalah makan malam bersama dengan hidangan spesial yang disuguhkan oleh tuan rumah Ibu Lidya. Ada sate Babi, sate ayam, nasi kuning, soup, dan aneka hidangan lainnya tersedia di atas meja. Pokoknya lengkap deh malam ini. Usai makam malam bersama, acara dilanjutkan dengan acara tukar kado serta foto bareng. Para peserta baru pamit dengan tuan rumah sekitar pkl. 23.15. Terima kasih untuk kebersamaan malam ini sampai ketemu dalam acara selanjutnya.......Syalommm 
================================


Foto-foto Narcis ala Lektor-lektris:














Ebiet G Ade - Untuk Kita Renungkan Mp3
Musicaddict.com

Minggu, 05 Februari 2012

BERSYUKUR ATAS ANUGERAH SANG WAKTU

Saya begitu terkesan dengan ungkapan demikian: “pada akhirnya bukanlah kematian yang harus ditangisi, melainkan yang harus ditangisi bahkan diratapi adalah masa hidup yang disia-siakan.” Adalah satu kenyataan dalam hidup kita sehari-hari, bahwa kita seakan berjalan dalam sebuah lorong waktu yang tidak bisa diputar kembali. Masing-masing kita memiliki jatah waktu yang sama, 24 jam dalam sehari. Yang menjadi soal adalah bagaimana masing-masing kita mengisi waktu yang ada agar menjadi lebih bermanfaat, bermakna dan berkualitas.
Kita mesti sadar bahwa kita manusia adalah pengembara dalam satu masa perjalanan waktu. Menyangkut waktu yang kita miliki dalam hidup ini, maka hidup ini dapat diibaratkan seperti sebuah kisah. Yang paling penting dari sebuah kisah bukanlah panjang atau pendeknya kisah, melainkan soal indah dan berkesannya. Karena itu, isilah hidup ini dengan memberikan apa yang terindah yang bisa kita berikan dari keberadaan kita (dengan segala kekurangan dan keterbatasan kita). Sehingga hidup kita sungguh-sungguh berarti untuk diri kita sendiri dan juga berarti untuk orang lain. Kata orang, “janganlah panasnya siang hari dan dinginnya malam hari merusak kewarasan kita, sehingga membuat kita lupa akan satu masa hidup ini.” Raihlah selalu sukses hidup ini sambil menyelami keagungan karya kasih Tuhan.
Orang yang penuh rahmat adalah orang yang setiap hari berkembang dalam kebijaksanaan hidup. Semakin bertambah usia, tidak hanya semakin bertambahnya jumlah uban di kepala atau semakin bertambahnya jumlah kerutan di wajah, melainkan juga soal kedalaman hidup sebagai seorang beriman. Ia semakin mengerti hidup ini untuk apa dan patut diabdikan kepada siapa. Orang yang tidak mengerti apa artinya menjalani hidup dalam terang iman, maka yang terjadi hidupnya akan menjadi sia-sia, dangkal, dan tak bermakna. Jadi, maaf saja, meskipun orang berhasil, sukses dalam segala hal, memiliki harta yang melimpah ruah, rumah mewah, gelar, jabatan, prestasi, dll., tapi kalau tidak memiliki Tuhan, ia tidak akan memiliki apa-apa, selain peti mati mewah dengan tubuh yang menjadi bangkai. Karena sehebat apapun topeng duniawi yang kita miliki hanyalah bersifat sementara.
Sukses dan kegemilangan dunia janganlah sampai menutup mata kita untuk meraih kehidupan sejati. Apalah artinya di dunia dihormati, dikagumi, dan dipuja-puji banyak orang, segala kedudukan diperoleh, harta bertumpuk-tumpuk, namun itu semua ternyata tidak memberi sumbangan atau nilai apapun bagi kehidupan kekal. Yesus sendiri bersabda: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat 16:26). Betapa penting memberi prioritas perhatian pada nilai hidup sejati daripada hal-hal yang fana. “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh 6:27).
Sukses kehidupan hendaknya jangan hanya diukur dengan hal-hal yang telah dicapai, apalagi sekadar bersifat hasrat duniawi, melainkan dengan meningkatnya pemahaman dan kedekatan relasi dengan Tuhan. Orang sukses sejati adalah orang yang hidup dan berkarya sebagai ujud pelaksanaan panggilan Tuhan. Kita dipanggil untuk menyalurkan berkat dan kasih Tuhan melalui setiap karya dan pelayanan yang kita lakukan, sekalipun karya dan pelayanan kita itu mungkin sederhana dan remeh di mata orang lain. Keselarasan hidup dengan panggilan Tuhan akan terjadi manakala cita-cita hidup yang ingin kita capai tidak berbenturan dengan rambu-rambu kehendak-Nya. Sikap hidup seperti ini membutuhkan suatu komitmen pribadi yang kokoh. Untuk ini rasul Petrus mengatakan: “Karena itu saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab, jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung” (2 Ptr 1:10).
Akhirnya, kita perlu merenungkan bahwa nilai hidup kita manusia tetap akan bermakna dan menjadi bagian hidup pribadi yang tak akan hancur oleh kematian. Karena setiap sikap dan tindakan kita dalam hidup ini, sesungguhnya kita sedang menenun sebuah gambaran jiwa hidup pribadi kita. Tindakan dan kebiasaan hidup setiap orang akan membentuk kekuatan atau melemahkan jiwa dan nilai hidup seseorang. Hidup tanpa kekuatan jiwa adalah hidup yang dingin, hampa, dan tak bergairah. Kedalaman dan kekuatan jiwa seseorang akan terpancar pada semangat dan gairah hidupnya. Ia senantiasa memiliki gairah dan aneka kreativitas untuk mengisi hidupnya, hingga setiap waktu adalah bernilai baginya. Mereka ini merasa kekurangan waktu dalam mengisi hari-hari hidupnya. Hari-hari hidupnya dijalani dengan penuh cinta dan syukur. Ia senantiasa mensyukuri hari-hari kehidupannya sebagai anugerah luar biasa dari Tuhan. Maka orang yang bisa bersyukur adalah pertanda ia memiliki jiwa kehidupan. Hanya orang yang bisa bersyukur yang bisa memiliki kehidupan. Hanya orang yang bisa bersyukur yang bisa berbahagia. Karena syukur berarti orang ingat dan sadar akan kasih Tuhan serta membawanya hidup lebih dekat dan mengandalkan belaskasih-Nya sebagai dasar kehidupan. Hanya orang yang bisa bersyukur yang tahu kepada siapa hidup ini diabdikan (yakni kepada Tuhan dan kepada sesama ciptaan). Seluruh hidupnya merupakan perjalanan yang bermuara kepada-Nya. Dengan demikian, orang kembali dan menemukan muara makna kehidupannya yang sejati, yakni Sang Sumber dan Makna Hidup. Karena itu, bersyukurlah karena kita masih diberi waktu!***

Senin, 26 Desember 2011

SEPUTAR JEJAK HISTORIS LEKTOR



Mungkin teman-teman lektor bertanya: bagaimana sih sejarah munculnya lektor dalam tradisi liturgi Gereja? Apakah ada jejaknya dalam tradisi dan Kitab suci? Berikut ini akan dipaparkan gambaran sekilas seputar jejak sejarah lektor dalam tradisi liturgi Gereja. Tulisan ini disarikan dari Tulisan Rm. Dicky Rukmanto, Pr. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan, terutama kepada teman-teman lektor.
Keberadaan seorang pembaca Sabda Allah (lector, Latin) dalam peribadatan suci sudah ditemukan dalam tradisi agama Yahudi. Jejaknya dapat dijumpai terutama dalam sumber Perjanjian Lama. Bahkan, dalam sumber Perjanjian Baru, jejak itu masih tampak saat Yesus datang ke Nazaret (Luk 4:16-30), masuk ke rumah ibadat, lalu membaca dan mengajar dari teks Yesaya 61:1-2. Dari tradisi peribadatan Yahudi di sinagoga itu, biasanya seorang tampil dari tengah jemaat. Kepadanya diberikan kitab yang diambil dari Kitab Taurat dan Para Nabi. Dan setelah dibuka, dibacalah salah satu teks. Selesai pembacaan, kitab tersebut ditutup dan kemudian diberikan kembali kepada pejabat. Pengajaran menyusul kemudian. Meneruskan tradisi Yahudi, kebiasaan membaca Kitab Suci juga ditemukan dalam era Gereja Perdana (bdk Kis 2:41-47).
Dalam tradisi Gereja, keberadaan lektor ditemukan jejaknya dalam periode abad-abad pertama sejarah kekristenan. Homili St Yustinus martir (wafat sekitar thn 165) menyebut adanya pembaca liturgis, anaginoskon. Paus Cornelius I (251-253), dalam suratnya kepada Fabius dari Antiokhia, menunjukkan bahwa Gereja Roma pada saat itu, selain mempunyai 42 akolit dan 52 eksorsis, memiliki juga sejumlah lektor. Jejak adanya lektor juga ditemukan di Gereja Cirta, Afrika, pada abad keempat saat dilaporkan bahwa Gereja setempat memiliki 4 imam, 3 diakon, 4 subdiakon dan 7 lektor.
Dalam abad-abad awal kekristenan, pembacaan Kitab Suci dalam liturgi, termasuk surat-surat Perjanjian Baru dan Injil, dibawakan oleh lektor. Peran lektor sangat penting dan terhormat, masuk dalam tata tahbisan minor subdiakon, diberikan dalam ritus khusus melalui penumpangan tangan uskup dan disertai doa. Dalam tradisi Gereja Barat, lektor termasuk dalam tingkat kedua dari tata tahbisan minor (ostiarius, lector, exorcista, acolythus). Untuk tingkat tahbisan minor ini tidak dikenakan kewajiban selibat. Juga dalam kebiasaan Gereja Timur, para lektor termasuk dalam tata tahbisan minor sebelum penerimaan diakonat - suatu jenjang menuju imamat dalam tata tahbisan mayor. Dapat dipahami kemudian bahwa peran lektor mengandaikan standar pendidikan khusus. Meskipun eksklusif untuk mereka yang tertarik menjadi imam, kehadiran schola lectorum (sekolah para lektor) pada abad kelima memberi indikasi kuat tentang pentingnya peranan membaca Sabda Allah oleh seorang yang memiliki kualifikasi pantas. Bahkan pada abad 6-7, dengan munculnya schola cantorum (sekolah menyanyi), pembacaan Sabda Allah dengan cara melagukan semakin melambungkan gengsi peran lektor.
Kehormatan peran lektor cukup ditampakkan juga oleh Kanon Barat, khususnya no. 8, yang diyakini berasal dari abad keenam, yang berbicara tentang tata cara pentahbisan. Kanon 8 tersebut menyebutkan, “Ketika seorang lektor ditahbiskan hendaklah uskup berbicara tentang dia kepada jemaat sambil menunjukkan (kelayakan) iman, hidup dan kemampuannya. Setelah itu, sementara jemaat memandangnya, hendaklah uskup memberikannya buku (Kitab Suci), yang darinya harus dibacanya, sambil berkata kepadanya: Terimalah ini dan jadilah pewarta Sabda Allah.”
Sementara kehormatannya tetap terjaga, secara perlahan wilayah tugas lektor berkurang. Sekarang, terutama sejak ada pembaharuan dalam Gereja Roma melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) - termasuk pembaharuan dalam liturgi, hak membaca Injil mulai dicabut dari peran lektor. Tugas membaca Injil hanya dipercayakan kepada diakon, atau imam konselebran jika tak ada diakon, atau imam selebran bila tidak ada diakon maupun imam konselebran (PUMR 59). Sedang pembacaan Kitab Suci kecuali Injil - berarti hanya kitab-kitab Perjanjian Lama dan surat-surat Perjanjian Baru, menjadi tugas lektor terlantik (PUMR 99). Meski demikian, bila dalam Perayaan Ekaristi tidak ada lektor terlantik, tugas pembacaan Kitab Suci - melalui Bacaan I dan II, dapat dibawakan oleh umat awam, baik pria maupun wanita, yang memiliki kelayakan. Namun, tak boleh ditolerir, mereka “harus sungguh trampil dan disiapkan secara cermat untuk melaksanakan tugas ini, sehingga dengan mendengarkan bacaan-bacaan dari naskah kudus, umat beriman dapat memupuk dalam diri mereka rasa cinta yang hangat terhadap Alkitab” (PUMR 101). ****



MEMBACA DENGAN BAIK: APAKAH ITU?

Setiap orang yang sudah pernah bersekolah di SD tentu dapat membaca. Tetapi ada perbedaan besar antara pembacaan seorang anak SD yang terputus-putus itu dengan pembacaan seorang pembawa berita RRI. Kadang-kadang dikatakan bahwa membaca dengan baik ialah kalau membaca seakan-akan teks yang dibaca tidak dibacakan, melainkan diceritakan dengan kata-kata sendiri. Pendapat itu hanya setengah benar. Sebab orang yang membaca Kitab Suci mewartakan Sabda Allah, bukan pandangan atau pendapatnya sendiri. Tetapi samasekali tidak cukup kalau pembaca hanya mengucapkan dengan nada yang datar (monoton) kata-kata yang dicetak dalam buku.

Untuk membaca dengan baik mutlak perlu adanya suatu lafal (pronunciation) yang tepat dan pengucapan (articulation) yang sempurna. Tetapi masih ada banyak hal lain, yang harus diperhatikan juga supaya apa yang dibacakan sungguh-sungguh masuk pada para pendengar. Misalnya: dapat ditangkap dengan telinga, dipahami dengan budi, dan meresap ke dalam hati. 

Jadi, kalau begitu apa yang dimaksud dengan "membaca dengan baik"? Secara singkat dapat dijawab demikian: MEMBACA DENGAN BAIK adalah bila pembaca membawakan suatu teks dengan memahami serta menghayati sendiri, sehingga dalam pembacaannya ia dapat mengadakan variasi ketegangan, lagu, irama dan para pendengar dapat menangkapnya dengan telinga, budi, dan hati.

MENJADI LEKTOR/TRIS

Pembaca (lektor/tris) adalah seorang petugas penting dalam perayaan liturgi. Namun, untuk melakukan tugasnya dengan baik, seorang lektor/tris membutuhkan persiapan. Saya sendiri sangat yakin bahwa cukup banyak orang mempunyai bakat untuk menjadi seorang lektor/tris yang baik, asal mengadakan persiapan dan latihan dengan tekun. Sekali seminggu, misalnya, para lektor/tris sebaiknya berkumpul untuk mengadakan latihan bersama. Sebagian besar waktu pertemuan itu akan digunakan untuk mengadakan latihan. Dalam latihan itu para lektor/tris satu per-satu tampil ke depan untuk membawakan suatu teks di depan teman-teman yang lain. Tempat latihan sebaiknya di Gereja dan semua anggota turut mendengarkan pembacaan teman yang sedang berlatih. Mereka bisa duduk tersebar di Gereja, supaya pembaca terpaksa berbicara cukup keras.

Sesudah setiap pembacaan, dua atau tiga anggota/ pendamping memberi kritik secara terperinci dengan mengemukakan apa yang baik maupun apa yang kurang baik yang telah mereka perhatikan. Hal yang secara khusus diperhatikan adalah soal kecepatan, tanda baca, intonasi, tekanan, dan lain sebagainya. Pada permulaan latihan sebaiknya diadakan tanpa menggunakan pengeras suara. Kemudian pemakaian pengeras suara juga dilatih.

Dengan demikian, para lektor/tris akan maju setapak demi setapak dan dalam waktu beberapa bulan mereka sudah dapat mencapai kemajuan besar. Umat akan merasa lega dan berterima kasih kalau bacaan-bacaan sungguh dibawakan dengan baik, sehingga dapat ditangkap dengan mudah dan dapat dinikmati. Karena itu, lektor/tris harus memiliki keberanian dan kepandaian untuk tampil ke depan dan membacakan Sabda Tuhan dengan baik. Tentu ini merupakan suatu bekal yang sangat berharga yang harus dimiliki oleh seorang lektor/tris. Selamat berlatih!!