Senin, 26 Desember 2011

SEPUTAR JEJAK HISTORIS LEKTOR



Mungkin teman-teman lektor bertanya: bagaimana sih sejarah munculnya lektor dalam tradisi liturgi Gereja? Apakah ada jejaknya dalam tradisi dan Kitab suci? Berikut ini akan dipaparkan gambaran sekilas seputar jejak sejarah lektor dalam tradisi liturgi Gereja. Tulisan ini disarikan dari Tulisan Rm. Dicky Rukmanto, Pr. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan, terutama kepada teman-teman lektor.
Keberadaan seorang pembaca Sabda Allah (lector, Latin) dalam peribadatan suci sudah ditemukan dalam tradisi agama Yahudi. Jejaknya dapat dijumpai terutama dalam sumber Perjanjian Lama. Bahkan, dalam sumber Perjanjian Baru, jejak itu masih tampak saat Yesus datang ke Nazaret (Luk 4:16-30), masuk ke rumah ibadat, lalu membaca dan mengajar dari teks Yesaya 61:1-2. Dari tradisi peribadatan Yahudi di sinagoga itu, biasanya seorang tampil dari tengah jemaat. Kepadanya diberikan kitab yang diambil dari Kitab Taurat dan Para Nabi. Dan setelah dibuka, dibacalah salah satu teks. Selesai pembacaan, kitab tersebut ditutup dan kemudian diberikan kembali kepada pejabat. Pengajaran menyusul kemudian. Meneruskan tradisi Yahudi, kebiasaan membaca Kitab Suci juga ditemukan dalam era Gereja Perdana (bdk Kis 2:41-47).
Dalam tradisi Gereja, keberadaan lektor ditemukan jejaknya dalam periode abad-abad pertama sejarah kekristenan. Homili St Yustinus martir (wafat sekitar thn 165) menyebut adanya pembaca liturgis, anaginoskon. Paus Cornelius I (251-253), dalam suratnya kepada Fabius dari Antiokhia, menunjukkan bahwa Gereja Roma pada saat itu, selain mempunyai 42 akolit dan 52 eksorsis, memiliki juga sejumlah lektor. Jejak adanya lektor juga ditemukan di Gereja Cirta, Afrika, pada abad keempat saat dilaporkan bahwa Gereja setempat memiliki 4 imam, 3 diakon, 4 subdiakon dan 7 lektor.
Dalam abad-abad awal kekristenan, pembacaan Kitab Suci dalam liturgi, termasuk surat-surat Perjanjian Baru dan Injil, dibawakan oleh lektor. Peran lektor sangat penting dan terhormat, masuk dalam tata tahbisan minor subdiakon, diberikan dalam ritus khusus melalui penumpangan tangan uskup dan disertai doa. Dalam tradisi Gereja Barat, lektor termasuk dalam tingkat kedua dari tata tahbisan minor (ostiarius, lector, exorcista, acolythus). Untuk tingkat tahbisan minor ini tidak dikenakan kewajiban selibat. Juga dalam kebiasaan Gereja Timur, para lektor termasuk dalam tata tahbisan minor sebelum penerimaan diakonat - suatu jenjang menuju imamat dalam tata tahbisan mayor. Dapat dipahami kemudian bahwa peran lektor mengandaikan standar pendidikan khusus. Meskipun eksklusif untuk mereka yang tertarik menjadi imam, kehadiran schola lectorum (sekolah para lektor) pada abad kelima memberi indikasi kuat tentang pentingnya peranan membaca Sabda Allah oleh seorang yang memiliki kualifikasi pantas. Bahkan pada abad 6-7, dengan munculnya schola cantorum (sekolah menyanyi), pembacaan Sabda Allah dengan cara melagukan semakin melambungkan gengsi peran lektor.
Kehormatan peran lektor cukup ditampakkan juga oleh Kanon Barat, khususnya no. 8, yang diyakini berasal dari abad keenam, yang berbicara tentang tata cara pentahbisan. Kanon 8 tersebut menyebutkan, “Ketika seorang lektor ditahbiskan hendaklah uskup berbicara tentang dia kepada jemaat sambil menunjukkan (kelayakan) iman, hidup dan kemampuannya. Setelah itu, sementara jemaat memandangnya, hendaklah uskup memberikannya buku (Kitab Suci), yang darinya harus dibacanya, sambil berkata kepadanya: Terimalah ini dan jadilah pewarta Sabda Allah.”
Sementara kehormatannya tetap terjaga, secara perlahan wilayah tugas lektor berkurang. Sekarang, terutama sejak ada pembaharuan dalam Gereja Roma melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) - termasuk pembaharuan dalam liturgi, hak membaca Injil mulai dicabut dari peran lektor. Tugas membaca Injil hanya dipercayakan kepada diakon, atau imam konselebran jika tak ada diakon, atau imam selebran bila tidak ada diakon maupun imam konselebran (PUMR 59). Sedang pembacaan Kitab Suci kecuali Injil - berarti hanya kitab-kitab Perjanjian Lama dan surat-surat Perjanjian Baru, menjadi tugas lektor terlantik (PUMR 99). Meski demikian, bila dalam Perayaan Ekaristi tidak ada lektor terlantik, tugas pembacaan Kitab Suci - melalui Bacaan I dan II, dapat dibawakan oleh umat awam, baik pria maupun wanita, yang memiliki kelayakan. Namun, tak boleh ditolerir, mereka “harus sungguh trampil dan disiapkan secara cermat untuk melaksanakan tugas ini, sehingga dengan mendengarkan bacaan-bacaan dari naskah kudus, umat beriman dapat memupuk dalam diri mereka rasa cinta yang hangat terhadap Alkitab” (PUMR 101). ****



MEMBACA DENGAN BAIK: APAKAH ITU?

Setiap orang yang sudah pernah bersekolah di SD tentu dapat membaca. Tetapi ada perbedaan besar antara pembacaan seorang anak SD yang terputus-putus itu dengan pembacaan seorang pembawa berita RRI. Kadang-kadang dikatakan bahwa membaca dengan baik ialah kalau membaca seakan-akan teks yang dibaca tidak dibacakan, melainkan diceritakan dengan kata-kata sendiri. Pendapat itu hanya setengah benar. Sebab orang yang membaca Kitab Suci mewartakan Sabda Allah, bukan pandangan atau pendapatnya sendiri. Tetapi samasekali tidak cukup kalau pembaca hanya mengucapkan dengan nada yang datar (monoton) kata-kata yang dicetak dalam buku.

Untuk membaca dengan baik mutlak perlu adanya suatu lafal (pronunciation) yang tepat dan pengucapan (articulation) yang sempurna. Tetapi masih ada banyak hal lain, yang harus diperhatikan juga supaya apa yang dibacakan sungguh-sungguh masuk pada para pendengar. Misalnya: dapat ditangkap dengan telinga, dipahami dengan budi, dan meresap ke dalam hati. 

Jadi, kalau begitu apa yang dimaksud dengan "membaca dengan baik"? Secara singkat dapat dijawab demikian: MEMBACA DENGAN BAIK adalah bila pembaca membawakan suatu teks dengan memahami serta menghayati sendiri, sehingga dalam pembacaannya ia dapat mengadakan variasi ketegangan, lagu, irama dan para pendengar dapat menangkapnya dengan telinga, budi, dan hati.

MENJADI LEKTOR/TRIS

Pembaca (lektor/tris) adalah seorang petugas penting dalam perayaan liturgi. Namun, untuk melakukan tugasnya dengan baik, seorang lektor/tris membutuhkan persiapan. Saya sendiri sangat yakin bahwa cukup banyak orang mempunyai bakat untuk menjadi seorang lektor/tris yang baik, asal mengadakan persiapan dan latihan dengan tekun. Sekali seminggu, misalnya, para lektor/tris sebaiknya berkumpul untuk mengadakan latihan bersama. Sebagian besar waktu pertemuan itu akan digunakan untuk mengadakan latihan. Dalam latihan itu para lektor/tris satu per-satu tampil ke depan untuk membawakan suatu teks di depan teman-teman yang lain. Tempat latihan sebaiknya di Gereja dan semua anggota turut mendengarkan pembacaan teman yang sedang berlatih. Mereka bisa duduk tersebar di Gereja, supaya pembaca terpaksa berbicara cukup keras.

Sesudah setiap pembacaan, dua atau tiga anggota/ pendamping memberi kritik secara terperinci dengan mengemukakan apa yang baik maupun apa yang kurang baik yang telah mereka perhatikan. Hal yang secara khusus diperhatikan adalah soal kecepatan, tanda baca, intonasi, tekanan, dan lain sebagainya. Pada permulaan latihan sebaiknya diadakan tanpa menggunakan pengeras suara. Kemudian pemakaian pengeras suara juga dilatih.

Dengan demikian, para lektor/tris akan maju setapak demi setapak dan dalam waktu beberapa bulan mereka sudah dapat mencapai kemajuan besar. Umat akan merasa lega dan berterima kasih kalau bacaan-bacaan sungguh dibawakan dengan baik, sehingga dapat ditangkap dengan mudah dan dapat dinikmati. Karena itu, lektor/tris harus memiliki keberanian dan kepandaian untuk tampil ke depan dan membacakan Sabda Tuhan dengan baik. Tentu ini merupakan suatu bekal yang sangat berharga yang harus dimiliki oleh seorang lektor/tris. Selamat berlatih!!



INI WAJAH-WAJAH KAMI!!

St. Anthony Voices Choir 
Rekoleksi Perdana Lektor/tris GHK

 Latihan Lektor/tris (Rabu menjelang Natal..)



Make Me A Channel Of Your Peace - 03
Mp3-Codes.com